Akhir-akhir ini paradigma pengelolaan mangrove telah berubah. Ekositem mangrove sangat produktif dan bernilai ganda serta tidak tersulihkan. Menyadari akan kesalahan tersebut, instansi pemerintah seperti Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, BAPPENAS serta LSM peduli mangrove dan telah membentuk tim Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN) untuk menyikapi hal-hal yang terkait dengan mangrove, seperti isu dan masalah yang menonjol serta kelembagaan yang perlu diperkuat.
Titik tolak peningkatan kesadaran masyarakat juga dipicu oleh peristiwa tsunami, 26 Desember 2004 di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Nias dan lain-lain lokasi. Peristiwa tersebut telah menyadarkan publik akan pentingnya mangrove di wilayah pesisir. Untuk alasan tersebut, rehabilitasi dan dan penanaman mangrove di wilayah pesisir indonesia menjadi isu responsif dalam pembangunan wilayah pesisir (Sukardjo, 2005).
Dilema yang dialami dalam pengelolaan magrove adalah disebabkan kurangnya data dan informasi. Kalaupun data dan informasi tersedia, tetapi kemuthakiran data sering menjadi masalah. Dengan demikian kemuthakiran data dan peta mangrove sangat diperlukan secara prinsip, terutama untuk menyelaraskan berbagai kepentingan sektoral terhadap mengrove. Dengan ketersediaan kompilasi data dan informasi mangrove, sumber daya alam yang bernilai ganda dan multi guna dapat diadopsi sebagai kepentingan praktis dan terbaik ketika harus menetapkan pilihan dalam pemanfaatan lahan mangrove. Telah disadari bahwa skema jangka pendek semata-mata mendapatkan keuntungan cepat ternyata membawa konsekuensi jangka panjang, yaitu berupa bencana bagi banyak kehidupan termasuk manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar